Tingginya rasio utang suatu negara terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) mirip dengan penyakit jantung yang bisa mengancam nyawa kapan saja. Hal ini bisa terjadi meskipun kondisi ekonomi negara terlihat baik-baik saja.
Masih ingat miliarder Ray Dalio, pemilik Bridgewater Associates, sebuah hedge fund besar yang memiliki aset sebesar US$124 miliar, yang jika dikonversi menjadi Rp1.984 triliun (dengan asumsi kurs Rp16.000/US$), yang kabarnya telah mengundurkan diri dari posisi di Dewan Pengawas Investasi Daya Anagata Nusantara (Dewas BPI Danantara)?
Nyatanya, figur ini sangat menentang utang. Dia tidak ragu untuk mengeluarkan pendapat yang keras mengenai lonjakan utang pemerintah Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Donald Trump saat ini. Jumlahnya mencapai US$36 triliun, yang setara dengan Rp576 ribu triliun. Sangat mencengangkan.
“Jika saya adalah seorang dokter dan sedang berdiskusi dengan Anda tentang kondisi kesehatan Anda, saya akan menekankan bahwa saat ini sangat, sangat kritis. Ini adalah masalah yang sangat besar,” ujar Dalio dalam sebuah konferensi di Dubai, yang dikutip dari CNBC, Jumat (30/5/2025).
Dia menyatakan bahwa tingginya rasio utang suatu negara terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) mirip dengan penyakit jantung yang bisa mengancam nyawa kapan saja. Hal ini bisa terjadi meskipun kondisi ekonomi negara terlihat baik-baik saja.
“Yang perlu dilakukan adalah memangkas defisit dari 7,5 persen dari PDB, menjadi 3 persen dari produk domestik bruto," beber Dalio.
Dalio meyakini, setiap pemimpin negara paham akan hal ini. Serta memiliki kemampuan untuk memangkas utang yang membuat keuangan negara. Jangan sampai, anggaran negara tersedot besar untuk membayar bunga dan cicilan. "Masalah sebenarnya adalah (kemauan) politik," tegasnya.
Informasi saja, utang bruto pemerintah AS per 11 Februari 2025, mencapai US$36,22 triliun. Di mana, sebesar US$28,8 triliun merupakan utang publik. Surat utang berbentuk surat berharga yang dimiliki individu, perusahaan, pemerintah negara bagian atau daerah, bank Federal Reserve, pemerintah asing, dan entitas lain di luar pemerintah AS.
Tentu saja, peringatan Dalio ini cukup positif. Khususnya bagi Indonesia yang jumlah utangnya terus menggunung.
Menurut data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), outstanding utang pemerintah per Maret 2025, mencapai Rp9.057,96 triliun. Jika dibandingkan dengan asumsi Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2024 sebesar Rp22.139 triliun, maka rasio utang terhadap PDB mencapai 40,91 persen.
Berdasarkan Undang-undang tentang Keuangan Negara, angka tersebut masih aman, karena di bawah ambang batas 60 persen.
Namun, banyak ekonom memperingatkan posisi utang pemerintah saat ini, berdampak kepada beratnya tekanan terhadap anggaran.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE), Yusuf Rendy Manilet, menilai permasalahan utama bukan kepada rasio utang semata. Namun, laju pertumbuhan dan implikasinya terhadap ruang belanja negara.
"Pertumbuhan utang kita lebih cepat dari pertumbuhan ekonomi dan kapasitas fiskal. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, rasio bunga utang terhadap penerimaan negara menunjukkan tren memburuk," kata Yusuf.
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin pun bersuara sama. Dia bilang, rasio utang yang sudah di atas 40 persen dari PDB, harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah. Apalagi sudah melenceng dari APBN 2025.
"Idealnya dijaga di bawah 40 persen PDB, apalagi target APBN 2025 dibatasi 37,8 hingga 38,7 persen," ujarnya.
Kata Wija, sapaan akrabnya, indikator yang lebih mengkhawatirkan justru adalah rasio pembayaran utang (debt service ratio), yang kini mendekati 50 persen dari penerimaan negara.
"Yang lebih mengkhawatirkan adalah debt service ratio yang saat ini mendekati 50 persen. Sudah di atas threshold aman di level 25 hingga 30 persen. Dampaknya, biaya bunga akan meningkat dan refinancing utang akan makin menantang," kata Wija.
Ide Times adalah Portal Media Online yang menyajikan Berita Terkini dan Terbaru seputar Informasi, News Update, Politik, Ekonomi, Humaniora dan Gaya Hidup.