Foto: Wakil Ketua Komisi II DPR RI Dede Yusuf. (Foto: Antara/Bagus Ahmad Rizaldi)
Keputusan baru KPU yang menetapkan dokumen syarat capres-cawapres sebagai informasi publik dikecualikan menuai sorotan. DPR minta transparansi agar masyarakat bisa menilai integritas calon pemimpin.
Jakarta – Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menetapkan dokumen persyaratan calon presiden dan calon wakil presiden sebagai informasi publik yang dikecualikan menuai sorotan dari DPR RI. Wakil Ketua Komisi II DPR, Dede Yusuf, menegaskan bahwa data calon pejabat publik, terutama calon presiden, seharusnya transparan dan dapat diakses masyarakat.
KPU melalui Keputusan Nomor 731 Tahun 2025 menyatakan setidaknya ada 16 dokumen yang tidak bisa dibuka untuk umum tanpa izin pihak yang bersangkutan. Pengecualian itu berlaku selama lima tahun, sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Dokumen yang dikecualikan antara lain fotokopi KTP elektronik, akta kelahiran, surat keterangan catatan kepolisian (SKCK), laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN), bukti SPT pajak lima tahun terakhir, ijazah atau legalisasi ijazah, surat keterangan kesehatan, hingga daftar riwayat hidup dan rekam jejak bakal calon.
DPR Pertanyakan Dasar Keputusan KPU
Menanggapi aturan tersebut, Dede Yusuf menilai perlu ada penjelasan terbuka dari KPU mengenai alasan pembatasan akses dokumen tersebut.
“Nanti kita tanyakan kenapa, argumentasinya apa. Kita baru tahu. Kalau nggak dikasih lihat, ya kita nggak tahu,” ujar Dede di Kompleks Parlemen, Senayan, Senin (15/9/2025).
Ia menambahkan, publik berhak mengetahui rekam jejak calon presiden dan wakil presiden, mengingat mereka akan mengemban jabatan publik tertinggi di Indonesia.
Analogi Pelamar Kerja
Dede juga mencontohkan, dalam proses melamar pekerjaan di sektor swasta saja, seorang pelamar diwajibkan melampirkan curriculum vitae (CV), ijazah, hingga dokumen pendukung lainnya. Menurutnya, logika yang sama seharusnya berlaku bagi capres dan cawapres yang “melamar” untuk jabatan publik.
“Kalau masyarakat melamar kerja saja harus menyerahkan data lengkap, masa calon pemimpin bangsa datanya tidak boleh diakses publik,” tambahnya.
Mana Data yang Memang Layak Ditutup?
Komisi II DPR memahami bahwa ada data yang memang bersifat pribadi dan pantas dikecualikan dari keterbukaan publik, misalnya rekam medis atau catatan kesehatan calon. Namun, untuk dokumen akademis, riwayat hidup, hingga laporan kekayaan, seharusnya dapat dibuka demi kepentingan transparansi dan akuntabilitas.
Polemik Keterbukaan Informasi
Kebijakan KPU ini menimbulkan perdebatan di ruang publik. Sebagian pihak menilai keputusan tersebut bisa mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap proses pemilu, karena data penting calon presiden dan wakil presiden tidak bisa diakses bebas.
Di sisi lain, KPU beralasan bahwa aturan ini dibuat untuk melindungi kerahasiaan data pribadi, serta tetap mengacu pada undang-undang keterbukaan informasi yang memungkinkan pengecualian dalam kondisi tertentu.
Menunggu Penjelasan KPU
Komisi II DPR memastikan akan segera meminta klarifikasi resmi dari KPU terkait dasar pengambilan keputusan ini. DPR menilai transparansi data capres dan cawapres sangat penting agar masyarakat bisa menilai integritas, rekam jejak, serta kapasitas calon pemimpin bangsa sebelum menggunakan hak pilihnya.
Ide Times adalah Portal Media Online yang menyajikan Berita Terkini dan Terbaru seputar Informasi, News Update, Politik, Ekonomi, Humaniora dan Gaya Hidup.