Ekonom senior Chatib Basri menilai publik tidak perlu panik dengan nilai tukar Rupiah yang belakangan ini melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Ekonom senior Chatib Basri menilai publik tidak perlu panik dengan nilai tukar Rupiah yang belakangan ini melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Menurut Chatib, melemahnya Rupiah tidak serta merta menunjukkan bahwa Indonesia akan mengalami krisis finansial.
"Kalau kamu nanya apakah kita krisis, tidak-lah," kata Chatib Basri dalam wawancara khusus dengan CNBC Indonesia, dikutip pada Senin, (23/10/2023).
Mantan Menteri Keuangan ini menuturkan di tengah ketidakpastian dunia, ekonomi Indonesia sebenarnya relatif bagus. Dia mengatakan ekonomi Indonesia diprediksi bakal tumbuh 5% tahun depan, lebih tinggi dari prediksi pertumbuhan ekonomi global di angka 2,9-3%. Inflasi di Indonesia juga relatif rendah, tambahnya.
Namun, ia mengakui trauma krisis finansial Asia tahun 1998 masih membekas. Krisis tahun 1998 menyebabkan nilai tukar rupee anjlok hingga 185%. Nilai tukar rupiah yang melemah mendorong inflasi Indonesia mencapai 77%, sementara perekonomian mengalami kontraksi lebih dari 13,7%.
Chatib menilai krisis inilah yang merugikan masyarakat, apalagi melihat nilai tukar Rupee yang terus melemah seperti sekarang. Chatib menceritakan pada tahun 2013 - ketika taper tantrum terjadi - dirinya pernah ditanya oleh Gubernur Bank Central Meksiko:
'mengapa Indonesia tetap melakukan intervensi terhadap nilai tukar Rupiah?'.
"Saya bilang enggak bisa, kalau di Indonesia itu dilakukan mesti dibimbing, kalau dilakukan orang akan panik dan dikiranya akan kembali ke 1998," kata dia.
Padahal, kata dia, banyak orang tidak sadar ketika taper tantrum terjadi kurs rupiah sudah merosot hingga 15%. Dia mengatakan kendati nilai rupiah sudah terdepresiasi dalam saat taper tantrum, Indonesia tidak mengalami krisis.
"Masalahnya selalu persepsi, persepsi yang repot itu adalah kalau orang menganggap krisis," kata dia.
Ia mengatakan, anehnya penderitaan akibat melemahnya nilai tukar rupiah tidak hanya dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Namun juga karena investor asing ingin menanamkan modalnya di Indonesia.
“Saya sering ditanya apakah ini krisis keuangan Asia? Saya kaget, bukan, ini negara yang bagus,†ujarnya.
“Jadi kalau ditanya apakah ada potensi krisis, seharusnya tidak ada,†lanjut Chatib Basri.
Ia mengatakan perkiraan nilai tukar Rupiah khususnya NDF (Non Deliverable Forward) dalam 12 bulan ke depan tidak akan mencapai Rp 16.000.
Menurutnya, meski Rupiah mencapai Rp 16.000, perekonomian Indonesia masih baik-baik saja. “Kalau Rp 16.000 tidak masalah, ingat kita beberapa waktu lalu berada di atas level itu,†ujarnya.
Dibayangi The Fed
Rupee terdepresiasi terhadap dolar AS disebabkan oleh perbedaan suku bunga di AS dan rendahnya pasokan dolar di Indonesia. Pada periode perdagangan (19 Oktober 2023), rupee menyentuh titik terlemahnya di Rp 15.853. Pelemahan rupiah yang terjadi terus menerus ini direspons Bank Indonesia dengan menaikan suku bunga acuan ke level 6% pekan lalu.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menuturkan kenaikan suku bunga acuan yang dilakukan BI akan mampu menjaga daya tarik investasi aset dalam bentuk Rupiah di tengah ketidakpastian global. Dia mengatakan indikator global yang sangat perlu diantisipasi adalah keputusan Federal Reserve pada pertemuan awal November ini.
"Jika tone dari stance the Fed masih cenderung hawkish maka tekanan pada Rupiah dapat terus berlanjut. Namun, jika cenderung dovish dan the Fed menyatakan ruang pemangkasan suku bunga terbuka tahun depan, kami memprediksi Rupiah akan mampu menguat ke kisaran 15.400-15.600 pada akhir tahun 2023," kata Josua.
Kepala Ekonom PT Bank Mandiri Tbk. Andry Asmoro menilai volatilitas pasar mungkin akan tetap tinggi dalam jangka pendek di tengah kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi global, kenaikan suku bunga jangka panjang dan ketegangan geopolitik yang sedang berlangsung di Timur Tengah.
Andry mengungkapkan pasar tengah menanti Rapat FOMC The Fed pada tanggal 23 November. Konsensus pasar secara umum memperkirakan FFR tidak akan berubah, namun mengisyaratkan kemungkinan kenaikan suku bunga pada akhir tahun.
"Pasar juga memperkirakan penurunan suku bunga bisa terjadi pada semester kedua tahun depan," kata Andry.
Dari sisi domestik, Andry melihat laju inflasi Indonesia
Ide Times adalah Portal Media Online yang menyajikan Berita Terkini dan Terbaru seputar Informasi, News Update, Politik, Ekonomi, Humaniora dan Gaya Hidup.