Hukum Tata Negara (HTN) Zainal Arifin Mokhtar memaparkan latar belakang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang didasari kepentingan politik.
Hukum Tata Negara (HTN) Zainal Arifin Mokhtar memaparkan latar belakang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang didasari kepentingan politik. Menurutnya, hal itu dianggap wajar karena hakim MK dianggap sebagai makhluk politik.
“Membaca putusan-putusan Mahkamah Konstitusi baru-baru ini, terutama setelah dibacakan berkali-kali, banyak yang tergoda untuk melihat pola yang sama seperti tahun 2017. Hakim Mahkamah Konstitusi adalah makhluk politik. "Ya, tentu saja, dalam debat bertajuk 'Perselisihan Pemilihan Presiden Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi "Pengadilan Menghapus Kriteria," kata Zainal, "Itu ada di buku, tetapi keputusannya tidak hanya didasarkan pada logika tetapi juga pada kepentingan politik. Seringkali didasarkan pada itu." Online, Jakarta, Minggu (1 Desember 2025).
Zainal menyoroti salah satu putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2017. Putusan tersebut menyatakan, Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Hak Asasi Rakyat memberikan kewenangan kepada DPR RI untuk melakukan intervensi terhadap putusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dewan Penasihat campur tangan. Yaitu Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Dia menganggap keputusan itu aneh dan penuh implikasi politik.
“Putusan MK itu konsisten untuk kasus-kasus yang nuansa politiknya tinggi, hakim MK itu biasanya ada saja satu dua kalimat yang tiba-tiba aneh dan itu konsisten, konsisten dalam keanehan itu,” ucapnya.
Zainal menjelaskan keanehan dimulai ketika KPK boleh diangket oleh DPR. Namun, angket DPR tidak boleh berkaitan dengan hal-hal yang menyangkut penyelidikan dan penyidikan perkara.
Hal serupa juga terjadi pada putusan MK yang melanggengkan Gibran Rakabuming Raka mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden di Pilpres 2024.
“Selalu hadir dalam kata-kata begitu,” ungkapnya.
Dengan demikian, Zainal menjelaskan putusan MK diambil dari tiga genre hakim yang ada dalam lembaga tersebut. Genre pertama diisi oleh hakim yang mencoba menyelamatkan hak MK (judicial heroes).
Genre kedua diisi oleh para hakim yang bermain politik dimana mereka pun ditunjuk melalui proses politik. Dan yang ketiga hakim-hakim yang berada di pertengahan.
“Putusan MK biasanya diambil itu adalah merebut hakim yang di tengah ini. Jadi hakim-hakim politis mencoba membujuk hakim di tengah supaya masuk ke genre mereka. Atau kah hakim-hakim yang mencoba menyelamatkan hukum ini mencoba membujuk mereka ke arah tengah,” jelasnya.
“Itu sebabnya rajin sekali MK memutus dengan bahasa-bahasa pertengahan. Karena itu cara membujuk,” tutur Zainal.
Ide Times adalah Portal Media Online yang menyajikan Berita Terkini dan Terbaru seputar Informasi, News Update, Politik, Ekonomi, Humaniora dan Gaya Hidup.