Pengacara internasional yang berfokus pada hak asasi manusia, Arnedo Valera, menyatakan bahwa penangkapan Duterte tidak sah. Ini lebih dari sekadar penyalahgunaan kekuasaan yang sembrono
Penangkapan mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte oleh Pengadilan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) menciptakan perpecahan dalam masyarakat Filipina. Sebuah kelompok menunjukkan dukungan terhadap penangkapan tersebut, sementara kelompok lainnya yang lebih besar mengecam keputusan ICC dengan keras.
Adnan Alonto, yang dahulu menjabat sebagai Duta Besar Filipina untuk Arab Saudi dan kini tinggal di California, Amerika Serikat, berpendapat bahwa penangkapan mantan Presiden Duterte berdasarkan kasus yang dibawa oleh ICC menunjukkan bahwa pemerintah saat ini tidak dapat diandalkan.
"Pemerintah Filipina telah berjanji untuk tidak bekerjasama dengan ICC, karena negara ini memiliki sistem peradilan yang operasional. Memungkinkan penangkapan ini akan melanggar dan mengurangi kredibilitas lembaga peradilan. Dispensasi ini akan berusaha apapun untuk mengeluarkan keluarga Duterte," ujarnya yang dilansir dari media lokal pada hari Minggu (23/3/2025).
Pengacara internasional yang berfokus pada hak asasi manusia, Arnedo Valera, menyatakan bahwa penangkapan Duterte tidak sah. Ini lebih dari sekadar penyalahgunaan kekuasaan yang sembrono.
“Ini adalah salah perhitungan politik yang fatal dan putus asa oleh pemerintahan Presiden Ferdinand Marcos Jr atau Bongbong. Tindakan kurang ajar ini akan menghancurkan koalisi penguasa Marcos yang rapuh, memecah belah pasukan militer dan polisi, serta memicu gelombang protes massa dan keresahan sosial di seluruh negeri,” kata Valera.
“Ini akan mengguncang kepercayaan investor, memicu ketidakstabilan ekonomi, dan membuat oposisi semakin berani, sehingga mempercepat jalan menuju perubahan rezim,” tambahnya.
Di Indonesia, reaksi yang sama juga muncul. Kali ini disuarakan oleh akademisi Indonesia yang bersimpati kepada Duterte.
Menurut pakar hubungan internasional Prof. Anak Agung Banyu Perwita, langkah Presiden Bongbong terhadap pendahulunya itu amat sangat disayangkan.
Menurutnya, dari sisi hukum sebenarnya tidak ada masalah karena setiap negara bebas menerapkan politik hukum yang keras terhadap pelaku kejahatan narkotika. Apalagi yang sudah mengancam eksistensi negara bersangkutan dalam bentuk instabilitas keamanan nasional.
Indonesia sendiri, sambungnya, juga memiliki politik hukum yang keras terhadap penjahat narkotika kelas kakap dalam bentuk hukuman mati.
“Jadi, tidak ada yang salah dengan kebijakan Duterte yang menghabisi para pelaku kejahatan narkotika di Filipina. Negara ini sepenuhnya berdaulat menjalankan politik hukumnya,” ucap Prof Banyu dalam keterangannya yang dikutip Sabtu (22/3/2025).
Ia menambahkan Pemerintah Indonesia perlu menegaskan kembali sikapnya bahwa permasalahan yang menyangkut negara-negara anggota ASEAN harus diselesaikan di dalam kawasan.
Terutama melalui mekanisme yang dipimpin oleh ASEAN, bukan oleh institusi eksternal seperti ICC. Prinsip ini sejalan dengan komitmen ASEAN terhadap kedaulatan regional dan prinsip non-intervensi sebagaimana diatur dalam Piagam ASEAN.
“Meskipun Indonesia mengakui pentingnya akuntabilitas dan keadilan, kami meyakini bahwa masalah semacam ini harus ditangani melalui kerangka hukum nasional dan regional, sesuai dengan prinsip persatuan dan sentralitas ASEAN,” jelasnya.
Masih kata Prof. Banyu, sebagai salah satu pendiri ASEAN, Indonesia secara konsisten mengadvokasi solusi regional untuk tantangan regional. ASEAN telah membangun.
“Harapannya Indonesia dapat menyatakan keprihatinannya atas perkembangan terbaru terkait tindakan ICC terhadap mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte,” pungkasnya.
Ide Times adalah Portal Media Online yang menyajikan Berita Terkini dan Terbaru seputar Informasi, News Update, Politik, Ekonomi, Humaniora dan Gaya Hidup.