James Elder, juru bicara UNICEF, memperingatkan bahwa tingkat kekerasan seksual terhadap anak-anak di DRC saat ini berada pada level tertinggi
Dari hampir sepuluh ribu laporan kekerasan seksual yang terjadi di zona konflik di bagian timur Republik Demokratik Kongo pada Januari dan Februari, diperkirakan bahwa antara 35 hingga 45 persen melibatkan anak-anak.
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengecam pemerkosaan dan kekerasan seksual yang meluas kepada anak-anak di tengah meningkatnya ketegangan antara kelompok bersenjata M23 dan pasukan pemerintah di DRC.
James Elder, juru bicara UNICEF, memperingatkan bahwa tingkat kekerasan seksual terhadap anak-anak di DRC saat ini berada pada level tertinggi yang pernah ada. “Dalam rangkaian konflik yang paling intens tahun ini di DRC timur, seorang anak mengalami pemerkosaan setiap enam puluh menit,” ucap Elder kepada media dari Goma, DRC, pada hari Jumat, 11 April 2025.
Ia menambahkan bahwa data awal menampilkan bahwa anak-anak berkontribusi 35 hingga 45 persen dari hampir sepuluh ribu insiden pemerkosaan dan kekerasan seksual yang tercatat hanya dalam dua bulan pertama tahun ini.
Setelah genosida di Rwanda pada tahun 1994, DRC terus mengalami kekerasan saat pemberontak dan tentara pemerintah bertarung untuk menguasai wilayah tersebut. Namun, konflik semakin intensif pada bulan Januari ketika pejuang M23 dengan cepat mengambil alih kota Goma di timur dan Bukavu pada bulan Februari.
Sekitar tiga ribu nyawa hilang dan banyak orang terpaksa mengungsi dari wilayah timur, yang menyebabkan kekhawatiran akan perluasan peperangan di kawasan ini. Selain itu, PBB dan negara-negara Barat menuduh Rwanda memberikan dukungan kepada M23 serta menyediakan persenjataan, yang dibantah oleh Kigali.
Krisis Sistemik
Elder memperingatkan bahwa peningkatan kekerasan terhadap anak-anak akhir-akhir ini bukanlah insiden yang terisolasi akibat konflik, melainkan krisis sistemik. "Itu adalah senjata perang dan taktik teror yang disengaja yang menghancurkan keluarga dan masyarakat," katanya, sambil menekankan bahwa angka-angka tersebut bisa jadi hanya puncak gunung es, yang tersembunyi di balik lapisan ketakutan, stigma, dan ketidakamanan.
Ia mengatakan persoalan ini harus diselesaikan sampai ke akar-akarnya. “Tentu saja, dengan mendorong tindakan kolektif dan mendesak,” tambahnya.
Pejabat PBB tersebut menyerukan lebih banyak upaya pencegahan dan layanan yang berpusat pada korban sehingga memungkinkan cara aman dan mudah diakses untuk melaporkan pelecehan tanpa rasa takut. “Para penyintas harus melihat dunia mendukung mereka, bukan berpaling. Dan para pelaku harus diadili,” desaknya.
Ide Times adalah Portal Media Online yang menyajikan Berita Terkini dan Terbaru seputar Informasi, News Update, Politik, Ekonomi, Humaniora dan Gaya Hidup.