Aturan baru menghilangkan batasan mengenai lokasi pendaftaran pernikahan pasangan, yang sebelumnya hanya diperbolehkan di tempat tinggal tetap mereka.
Pemerintah Tiongkok telah mengubah peraturan mengenai pendaftaran pernikahan, mengurangi jumlah dokumen yang diperlukan, dan memberikan lebih banyak pilihan kepada pasangan dalam menentukan lokasi pencatatan pernikahan mereka, sebagai bagian dari strategi yang lebih besar untuk mendorong kelompok muda untuk membangun keluarga.
Aturan baru ini, yang merupakan perubahan pertama sejak peraturan pendaftaran pernikahan diterapkan pada tahun 2003, akan mulai berlaku pada tanggal 10 Mei 2025.
Menurut Xinhua, pada hari Jumat (11/4/2025), di bawah peraturan baru ini, pasangan di Tiongkok Daratan hanya perlu menunjukkan kartu identitas mereka dan surat pernyataan yang telah ditandatangani yang menyatakan bahwa mereka tidak sedang menikah dan tidak memiliki hubungan darah dalam tiga generasi untuk mendaftarkan pernikahan mereka. Berbeda dengan peraturan sebelumnya yang mengharuskan mereka untuk menunjukkan buku registrasi rumah tangga.
Aturan baru ini juga menghilangkan batasan mengenai lokasi pendaftaran pernikahan pasangan, yang sebelumnya hanya diperbolehkan di tempat tinggal tetap mereka.
Perubahan tersebut diharapkan bisa mengurangi waktu dan biaya, terutama bagi warga Tiongkok yang tinggal dan bekerja jauh dari tempat asal terdaftar mereka.
Salah satu pasangan, Nona Zhang dari Mongolia Dalam dan Tuan Wang dari Shandong, telah bekerja di Jiangsu selama beberapa tahun. Ketika mereka memutuskan untuk menikah beberapa tahun lalu, mereka harus kembali ke kampung halaman Wang untuk menyelesaikan dokumen, yang memakan biaya hampir 2.000 yuan atau sekitar Rp4,5 juta, serta memerlukan cuti selama tiga hari.
Pengalaman ini merupakan hal biasa dalam sistem sebelumnya. Berdasarkan sensus nasional, hingga tahun 2020, sekitar 493 juta orang di Tiongkok tinggal jauh dari kampung halaman mereka yang terdaftar. Lebih dari 70 persen dari populasi nonresiden ini berusia antara 15 hingga 35 tahun.
Perubahan regulasi itu muncul di tengah penurunan angka pernikahan di China. Menurut data dari Kementerian Urusan Sipil China, sebanyak 6,1 juta pasangan telah mendaftarkan pernikahan mereka pada 2024, turun dari 7,68 juta yang dicatat pada tahun sebelumnya.
Para pakar mengaitkan penurunan itu dengan menyusutnya jumlah orang yang telah memasuki usia nikah, perubahan pandangan soal hubungan, dan meningkatnya biaya yang diasosiasikan dengan membina rumah tangga.
Banyak warga dewasa muda kini memilih menunda pernikahan hingga mereka merasa siap secara finansial dan emosional, tren yang mencerminkan masyarakat yang didorong oleh pasar seperti Eropa, Amerika Utara, dan Jepang, di mana pandangan tradisional terkait pernikahan telah menjadi lebih fleksibel.
Menanggapi perubahan ini, pemerintah daerah di seluruh China telah memperkenalkan berbagai insentif untuk membangun masyarakat yang ramah terhadap pengantin baru.
Provinsi Zhejiang di China timur memperpanjang masa cuti nikah berbayar dari tiga hari menjadi 13 hari, sementara Kota Lyuliang di Provinsi Shanxi, China utara, kini menawarkan insentif senilai 1.500 yuan bagi wanita yang menikah pada atau di bawah usia 35 tahun.
Upaya-upaya itu sejalan dengan tujuan yang lebih luas, mengingat jumlah pengantin baru kerap kali dipandang sebagai faktor penting dalam meningkatkan angka kelahiran. Sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia, China menghadapi berbagai tantangan demografis yang serius karena populasinya menua dengan cepat.
Menanggapi hal itu, pemerintah telah meluncurkan serangkaian kebijakan pendukung, termasuk layanan persalinan yang ditingkatkan, memperluas sistem perawatan anak, dan memberikan dukungan yang lebih besar pada bidang pendidikan, perumahan, dan ketenagakerjaan.
Ide Times adalah Portal Media Online yang menyajikan Berita Terkini dan Terbaru seputar Informasi, News Update, Politik, Ekonomi, Humaniora dan Gaya Hidup.